Langsung ke konten utama

Pulau Palue dan Gunungapi Rokatenda

Pada bulan Maret 2015 lalu, saya (mau tidak mau, ngeri campur 'exited') berangkat dari desa Aewora kabupaten Ende menuju pulau Palue yang terkenal dengan letusan gunungapi nya yang dasyat di tahun 1928 silam dengan status yang sekarang waspada dan masih aktif.Lebih kurang 2 jam berperahu dari desa Aewora, gunung Rokatenda dengan kawah terbuka menghadap laut terlihat angker. Asap tipis menguar dari gunung itu.

Pulau Palue sebenarnya adalah tubuh gunungapi Rokatenda, yang menjulang dari dasar laut Flores dengan ketinggian 3.000 meter dengan 875 meter bila diukur dari permukaan laut. Palue dalam bahasa masyarakat setempat berarti 'mari pulang'.Pulau Palue sendiri secara geografis berada di wilayah kabupaten Ende namun secara history dan administratif masuk ke dalam wilayah pemerintahan kabupaten Sikka. Pulau Palue memiliki luas lebih kurang 39,5 km2 terbagi menjadi 8 desa yaitu; Lidi, Maluriwu, Reruwairere, Kesukoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole dan NitungLea. Dengan hasil utama pertaniannya berupa, jagung, ubi, kacang tanah, kacang hijau dan pisang. Sedangkan Rokatenda itu sendiri merupakan nama tarian legendaris muda mudi yang sangat terkenal di tahun-tahun lampau.

Begitu sampai di dermaga Uwa pulau Palue kami disambut dengan sapaan hangat dari beberapa warga yang berada di sekitar dermaga. Perjalanan pun dimulai, kami berjalan kaki menempuh medan bebatuan sisa longsor letusan gunungapi, kemudian menempuh jalan pendakian menuju desa pertama di pulau ini yaitu desa Lidi sekitar 2km. Masih pukul 08.00 WITA, namun matahari pada akhir Maret 2015 itu terasa memanggang. Sisa longsor dari perbukitan tampak jelas di jalur perjalanan serta tanaman jambu mente yang sedang berbuah. Jalan yang kami lalui ini lebarnya hanya 2m dengan aspal atau semen putih, orang sini menyebutnya RABAT. Akhirnya saya dan teman-teman tiba di desa Lidi sekaligus menyinggahi rumah kepala desa. Dari rumah kepala desa saya bisa melihat laut Flores di kejauhan. Angin gunung semilir segar menemani perbincangan kami di bawah sebuah pohon besar di belakang rumah kepala desa. Setelah berbincang-bincang sejenak dan memohon izin kepada kepala desa setempat, kami pun melanjutkan perjalanan.

Perjalanan yang paling dramatis bagi saya waktu itu adalah ke desa Kesukoja. Desa ini sebenarnya dapat ditempuh dengan motor, hanya saja jalan yang dilalui sempit dan menanjak. Banyak tikungan tajam dan curam melewati jurang-jurang demi mencapai bukit Golgota. Bukit ini disebut demikian karena terdapat sebuah salib besar setinggi 6m. Bisa dibayangkan yang tidak biasa akan menempuh rute ini lebih lama lagi. Setelah berjalan mendaki curam sejauh 500m, akhirnya saya dan teman-teman tiba di POA (tempat air) Kesukoja. Disini terdapat penyulingan panas bumi, tampak banyak batang bambu dijejal ke bukit panas untuk menampung air yang nantinya dialiri ke wadah-wadah yang sudah disiapkan sebelumnya.

Sepertinya hidup tak mudah di pulau Palue, warga harus menyuling panas bumi dan menoreh pohon pisang demi setetes air. Mereka pun hidup di bawah ancaman karena setiap jengkal tanah Palue adalah tubuh Gunungapi Rokatenda. Dengan segala keterbatasan dan resiko bencana alam, masyarakat Palue tetap berpegang teguh pada adat-istiadat yang kuat. Kecintaan dan keteguhan ini tidak masuk pada logika sebagian besar kita. Kenapa tetap bertahan? Pulau ini tidak layak huni, kenapa tidak pindah? Tidak ada air, tidak ada listrik, apa yang dipertahankan? Begitulah pertanyaan yang menari-nari di otak saya waktu itu yang ingin saya tanyakan kepada mereka.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju dusun paling atas di desa ini. Rute yang kami lalui kali ini luar biasa bikin adrenalin meninggi. Jarak 5km ditempuh hampir satu jam, perjalanan ini melebihi rollercoaster rasanya, karena melewati tikungan tajam curam dan diselingi dengan jurang di kedua sisi. Kami pun tiba di desa terakhir di kaki gunung Rokatenda. Tampak beberapa orang tua dan anak- anak yang masih mendiami desa tersebut sembari menyapa kami. Debu-debu yang terbawa dari gunung Rokatenda pun menyapu setiap ada angin berhembus.

Sejenak kami berhenti melepas penat sambil meneguk air dan menikmati bekal makanan yang kami bawa, guna mengisi tenaga yang mulai terkuras. Perjalanan semakin mendaki, kami menyibak lebat ilalang dan menyisir jalan setapak yang jarang dilintasi. 3 jam perjalanan kami pun tiba di padang savana yang ditumbuhi anggrek hutan. Kubah gunung Rokatenda terlihat gagah di depan. Seorang warga asli Palue sekaligus pemandu kami, memanjat batu yang menyerupai meja besar. Ia menaruh sebatang rokok, sebutir telur dan sirih pinang di atas batu, lalu komat-kamit berucap doa. "Kami harus minta izin kepada leluhur yang mendiami gunung ini" katanya.

Setelah melakukan doa, kami pun mulai berjalan kaki menelusuri jalur setapak menuju puncak gunung. Meski perjalanan menuju kawah Rokatenda hanya berjarak 3km, namun pendakian ke gunung berketinggian 875m dari permukaan laut ini tidaklah mudah. Tubuh gunung yang nyaris kerucut sempurna, membuat perjalanan terus menanjak nyaris tanpa bonus. Kami pun bergegas mendaki dinding gunung yang nyaris tegak. Dinding itu terlapisi leleran lava menyerupai aspal yang melapuk dan kerap runtuh saat diinjak.
Sekitar pukul 13.50 WITA, kami pun tiba di tepi kawah Rokatenda. Dari tepi kawah, Laut Flores terlihat teduh dan menawan, membiaskan langit biru siang itu. Angin pun berhempus pelan, lelah pun terbayar sudah. Dari puncak tampak jalan setapak mengitari kawah. Luasnya laut Flores dan hembusan angin melengkapi damainya suasana menikmati indahnya ciptaan Tuhan.
Dikutip dari Data Dasar Gunungapi Indonesia, Kompas Cetak: Gunung api Rokatenda disebut sebagai gunung api bertipe A berbentuk strato karena merupakan letusan gunung api yang bersifat efusif dan eksplosif yang menghasilkan perlapisan dari lava dan endapan piroklastik. Rokatenda bersama 22 gunung api aktif lainnya berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Geologi Nasional Kementrian ESDM berada dalam status waspada.
Sedangkan sumber lain menjelaskan, dikutip dari (Kompas.com/Amir Sodikin/Samuel Oktora). Pasca letusan besar disertai tsunami pada tahun 1928, Rokatenda 'rehat' selama 35 tahun lalu meletus kembali berkali-kali hingga di tahun 1985 membuat kawah baru yang bagi orang setempat disebut Anak Rokatenda. Mendengar nama Palue bagi sebagian orang Flores cukup membuat takut. Pada tahun 2010 terjadi kecelakaan kapal motor Karya Pinang di tanjung Watumanuk yang berlabuh dari Palue menuju Maumere, menewaskan 20-an jiwa dan 4 lainnya hingga kini belum ditemukan. Belum lagi kecelakaan-kecelakaan lain yang terjadi di jalur ini. Keangkeran Palue sudah menjadi mitos sehari-hari orang Flores jika berbincang dengan mereka. Adat masyarakat Palue sangat kuat sehingga menjadi faktor vital untuk mengekang kesetiaan dan kecintaan mereka pada tanah leluhur mereka.

Sementara, letusan terakhir pada Sabtu subuh 10 Agustus 2013 lalu menewaskan 6 orang korban yang tersapu awan panas atau orang merapi menyebutnya 'wedus gembel' saat mereka baru pulang melaut sambil berbaring dan beristirahat di pantai. Pola aliran yang sebelumnya tidak terjadi namun pagi itu angin meniupkan arah letusan Rokatenda tidak seperti biasanya. Kini 4 desa yakni Rokirole, Ladolaka, Nitunglea, dan Tuanggeo sudah dikosongkan karena kondisinya memang sudah tidak mungkin dihuni. Desa lain seperti Maluriwu dan Reruwairere yang berada di pesisir dan terlindungi oleh beberapa perbukitan dan lembah saat ini masih minim terdampak letusan namun patut diingat peristiwa 1928 dimana tsunami menyapu habis kedua desa ini. Desa Lidi yang berada di Tenggara pulau saat ini memang masih tidak parah tetapi beberapa tahun lalu banjir lahar dingin juga menyerbu desa ini dan menyebabkan korban jiwa akibat longsor parah.

Sebenarnya letusan Gunung Rokatenta dari awal 2013 sudah terdeteksi oleh Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA). Dalam laman resminya, NASA mengeluarkan foto satelit yang menunjukkan hubungan asap yang berasal dari Rokatenda. Pada 24 Maret 2013 tertangkap adanya asap tebal yang melewati Pulau Flores dan Laut Savu pascaletusan keras Gunung Rokatenda. Keterangan foto satelit tersebut menyatakan, "Abu berwarna terang menyelimuti sepertiga Pulau Palue. Sedangkan laut di bagian barat berwarna pirus karena asap yang melayang dekat permukaan air."
Foto berwarna natural ini ditangkap oleh Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang berada di satelit Terra. (dikutip dari sumber: Kompas, NASA - nationalgeographic.co.id/berita)

Kesimpulan yang dapat saya sampaikan dari beberapa sumber yang saya baca ialah sepertinya tidak ada satupun wilayah yang 100% aman dari potensi bencana alam Rokatenda. Namun faktanya bagi sebagian warga Palue kesulitan hidup dan bahaya yang mengancam tak menciutkan nyali mereka untuk bertahan dan meneruskan hidup di tanah kelahiran mereka. Keterbatasan untuk mengakses dan perjuangan berat mendapatkan air mineral yang vital untuk hidup tetap mereka lakoni hari demi hari di pulau tersebut.
Akhir cerita, keindahan, keramahan, nilai hidup dan inspirasi yang saya dapat dari alam dan masyarakat Palue menjadi salah satu pengalaman hidup yang tak kan putus saya syukuri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suka Duka Naik Kapal Laut

Pernah merasakan travelling naik kapal? Kapal penumpang yang waktu tempuh perjalanannya lebih dari 12 jam. Hmmm bagi sebagian orang, travelling naik kapal bisa jadi hal yang cukup menantang dikarenakan faktor lamanya perjalanan yang dilalui. Lebih dari itu cukup efektif bagi yang ingin menghemat pengeluaran apalagi bila dibandingkan dengan harga tiket pesawat. Selain itu, beberapa destinasi wisata yang tidak terakomodir melalui pesawat bisa dijangkau dengan kapal. Contoh sederhana adalah Pulau Komodo dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Untuk menuju kesana perlu naik pesawat sampai Labuan Bajo, kemudian melanjutkan perjalanan dengan transportasi laut untuk mencapai Pulau Komodo. Biaya yang diperlukan untuk membeli tiket pesawat plus mencharter boat / kapal pinisi menuju Pulau Komodo bisa mencapai 5 juta atau lebih sekali jalan jika start poinnya adalah pulau Sumatera atau pulau Jawa. Nah dipostingan kali ini aku mau share beberapa suka duka naik kapal laut, terutama bagi yang pertama

Perjalanan Ala Ransel "Backpacker"

Bisa mengunjungi berbagai tempat baru, bertemu orang-orang baru, juga pengalaman baru adalah hal yang paling menyenangkan yang bisa didapat dengan perjalanan. Namun kadang perasaan ragu tak jarang meliputi orang yang baru pertama kali akan melakukan perjalanan tersebut dilakukan sendiri tanpa bantuan tour and travel atau agen perjalanan. Perjalanan ada bermacam jenisnya jika dilihat dari cara melakukannya dan juga budget atau dana yang dibutuhkan, dan tentunya setiap jenis perjalanan memiliki kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana kita menyesuaikan dengan keadaan diri kita atau yang paling membuat kita nyaman. Kali ini saya akan mencoba menjelaskan perjalanan ala ransel atau nama bekennya sekarang 'Backpacker'. Backpacker umumnya dipilih oleh mereka yang menginginkan perjalanan dengan biaya minim atau budget terbatas dan menyukai tantangan perjalanan. Kenapa memilih backpacker? Karena backpacker membuat dan memaksa kita melakukan sesuatu yang lebih bahkan dari kemampuan