Setiap tanggal 25 November, kita memperingati hari Guru. Sebagai penghargaan pada jasa-jasa yang telah diberikan oleh sang Guru. Sang Pahlawan tanpa tanda jasa, pada, kita semua. Karena Gurulah. Maka, kita sekarang menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Tanpa mereka, kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Sebagai individu yang telah menerima begitu besar jasa sang guru. Sebagai upaya kecil untuk membalas jasa guru, maka saya mencoba menulis ini, berdasarkan pada fenomena yang terjadi saat ini.
Jadi guru zaman now tentu berbeda dengan zaman baheula. Perbedaan generasi antara guru dan peserta didik adalah kenyataan yang harus disikapi dengan bijak. Rata-rata orang yang sedang menjalani profesi guru saat ini adalah berada pada rentang kelahiran 1981-1994 (Generasi Y), atau bahkan mungkin lebih dahulu dari itu.
Sedangkan Usia mereka yang sedang duduk di bangku SD – SMA, yang lahir pada rentang 1995-2010, atau kita kenal dengan Generasi Z. Kids Zaman Now istilah kerennya. Sebuah tulisan menyatakan bahwa Generasi ini mempunyai ciri-ciri: dibesarkan oleh media internet, mahir menggunakan Smartphone, tergantung dengan internet, gadget, multitasking, dan menjunjung tinggi privasi.
Perbedaan Generasi ini menyebabkan guru harus jeli dan lihai memainkan peran sebagai pendidik, dengan menggunakan metodologi yang sesuai dengan “dunia” peserta didik.
Kalau dulu dalam sektor pendidikan, kebutuhan peserta didik akan guru cuma ilmu belaka. Sekarang berbeda. Peserta didik juga "menuntut" secara terang benderang akan "casing" atau tampilan physically seorang guru.
Guru dituntut kreatif, sehingga peserta didik lebih tertarik kepada gurunya, ketimbang pada hal lain yang ada disekitarnya. Guru dituntut inspiratif dan berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran yang baik. Karena sejatinya guru harus mampu menjadikan anak “Cinta” belajar, bukan semata-mata “bisa” menguasai materi pembelajaran.
Penampakan fisik di sini, tidak sekedar ganteng atau cantik. Lebih daripada itu. Peserta didik menginginkan pula, perubahan radikal dalam kegiatan belajar mengajar. Mengapa butuh perubahan radikal? Seperti yang terlihat di lapangan, masih banyak guru yang mengedepankan "metode ceramah" dibandingkan dengan metode lainnya. Bahkan ada yang menjadikannya satu-satunya metode. Kalau sudah begini, tentu ada bentrokan keinginan. Sementara gurunya masih keukeuh menjaga status quo-nya. Sedangkan siswanya sudah memerlukan perubahan yang signifikan.
Sinkronisasi keduanya hanya bisa ditemukan, bila gurunya melakukan perubahan mindset. Menjadi guru tidak saja dimaknai sebagai profesi "yang suka teriak-teriak" di dalam kelas. Menjadi guru adalah mempunyai peran sebagai pengasuh dan teman. Peran ganda sebagai pengasuh dan teman ini berarti guru harus mampu mendampingi, memfasilitasi, sekaligus tempat curhat bagi muridnya. Karena itu, elemen yang dibangun oleh guru, adalah elemen kedekatan. Bukan "Tembok Berlin".
Selamat Hari Guru, semoga guru menjadi ujung tombak keberhasilan anak-anak bangsa untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Aman, Damai, Sejahtera dan Sentosa.
Selamat mengasah diri menjadi Teacher Zaman Now, yang masih tetap jadi sumber inspirasi untuk mereka, Kids Zaman Now.
Sebagai individu yang telah menerima begitu besar jasa sang guru. Sebagai upaya kecil untuk membalas jasa guru, maka saya mencoba menulis ini, berdasarkan pada fenomena yang terjadi saat ini.
Jadi guru zaman now tentu berbeda dengan zaman baheula. Perbedaan generasi antara guru dan peserta didik adalah kenyataan yang harus disikapi dengan bijak. Rata-rata orang yang sedang menjalani profesi guru saat ini adalah berada pada rentang kelahiran 1981-1994 (Generasi Y), atau bahkan mungkin lebih dahulu dari itu.
Sedangkan Usia mereka yang sedang duduk di bangku SD – SMA, yang lahir pada rentang 1995-2010, atau kita kenal dengan Generasi Z. Kids Zaman Now istilah kerennya. Sebuah tulisan menyatakan bahwa Generasi ini mempunyai ciri-ciri: dibesarkan oleh media internet, mahir menggunakan Smartphone, tergantung dengan internet, gadget, multitasking, dan menjunjung tinggi privasi.
Perbedaan Generasi ini menyebabkan guru harus jeli dan lihai memainkan peran sebagai pendidik, dengan menggunakan metodologi yang sesuai dengan “dunia” peserta didik.
Kalau dulu dalam sektor pendidikan, kebutuhan peserta didik akan guru cuma ilmu belaka. Sekarang berbeda. Peserta didik juga "menuntut" secara terang benderang akan "casing" atau tampilan physically seorang guru.
Guru dituntut kreatif, sehingga peserta didik lebih tertarik kepada gurunya, ketimbang pada hal lain yang ada disekitarnya. Guru dituntut inspiratif dan berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran yang baik. Karena sejatinya guru harus mampu menjadikan anak “Cinta” belajar, bukan semata-mata “bisa” menguasai materi pembelajaran.
Penampakan fisik di sini, tidak sekedar ganteng atau cantik. Lebih daripada itu. Peserta didik menginginkan pula, perubahan radikal dalam kegiatan belajar mengajar. Mengapa butuh perubahan radikal? Seperti yang terlihat di lapangan, masih banyak guru yang mengedepankan "metode ceramah" dibandingkan dengan metode lainnya. Bahkan ada yang menjadikannya satu-satunya metode. Kalau sudah begini, tentu ada bentrokan keinginan. Sementara gurunya masih keukeuh menjaga status quo-nya. Sedangkan siswanya sudah memerlukan perubahan yang signifikan.
Sinkronisasi keduanya hanya bisa ditemukan, bila gurunya melakukan perubahan mindset. Menjadi guru tidak saja dimaknai sebagai profesi "yang suka teriak-teriak" di dalam kelas. Menjadi guru adalah mempunyai peran sebagai pengasuh dan teman. Peran ganda sebagai pengasuh dan teman ini berarti guru harus mampu mendampingi, memfasilitasi, sekaligus tempat curhat bagi muridnya. Karena itu, elemen yang dibangun oleh guru, adalah elemen kedekatan. Bukan "Tembok Berlin".
Selamat Hari Guru, semoga guru menjadi ujung tombak keberhasilan anak-anak bangsa untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Aman, Damai, Sejahtera dan Sentosa.
Selamat mengasah diri menjadi Teacher Zaman Now, yang masih tetap jadi sumber inspirasi untuk mereka, Kids Zaman Now.
Komentar