Langsung ke konten utama

Melihat Dari Atas

Ini perjalanan pertamaku menuju daerah timur Indonesia, sejak lepas landas dari Bandara Internasional Minangkabau Padang, aku memasrahkan diriku pada Sang Khalik pemilik langit. Pada birunya atmosfer dan awan-awan yang berarak. Kebetulan waktu itu aku duduk di tepi jendela, memandang keluar, memperhatikan bangunan di bawah sana yang perlahan mengecil, memandang arus sungai yang berkelok, danau-danau yang tampak seperti pecahan genangan, pepohonan seperti gerumbulan hijau, gunung-gunung yang dikitari awan tipis, tepian garis pantai yang kontras dengan birunya laut, bias pelangi, kapal-kapal yang menuju daratan, hingga cuma biru disekeliling.


Satu malam ketika aku mengangkasa membelah gelap, lepas dari bandara Juanda Surabaya, meninggalkan lampu-lampu sepanjang jalur lepas landas, mulai menjauh dari daratan. Tak lama yang terlihat hanya lampu-lampu kota, kemudian kerlip samar di perbukitan, sampai menembus awan dan tak ada cahaya lagi yang nampak. Cuma gelap di luar jendelaku. Lalu tiba-tiba gemuruh terdengar dan pesawat sedikit terguncang. Lampu kabin dimatikan dan kami semua harus menggunakan sabuk pengaman. Mengintip keluar jendela hanya lampu-lampu pada sayap dan sesekali terang di ujung sana oleh petasan kilat. Yang bisa dilakukan hanyalah berdoa.


Melihat dunia dari atas sebenarnya tak jauh beda dengan kita melakukan perjalanan lewat roda. Hanya sesuatu yang datang dari atas atas terkadang dianggap lebih istimewa. Masih ingat film God Must be Crazy ketika adegan terlemparnya botol Coca Cola dari pesawat dan disambut dengan banyak pertanyaan "apakah ini?" oleh yang menemukannya di bawah. Seandainya botol itu tiba melalui dunia yang lebih horizontal, mungkin akan lebih lambat dan lebih mudah pengertian akan dicapai.
Pertanyaan tentang hidup, ketika batas antara hilang dan kematian begitu tipis, tentang harapan yang terus dipupuk selama berhari-hari terdampar jatuh di gurun pasir, mencari oase-oase yang kadang semu diantara pilihan untuk melanjutkan atau bertahan ditemukan. Bergerak sambil terus meninggalkan jejak atau pasrah di telan udara panas yang bisa membuat gila. Cerita panjang tentang melintasi pasir yang menyesatkan hanya dengan bantuan kompas, tanpa tahu dimana mereka sebenarnya dalam peta panduan yang dibawa.

Setiap tempat adalah satu titik istimewa di peta, yang punya cerita sendiri dari siapa yang pernah membuat jejak. Bisa terkenang akan pepohonan yang berbuah, bisa tentang jalan yang berkelok yang berdebu, bisa tentang guncangan di udara atau sekedar perasaan bangga tersesat dalam satu pecahan ombak. Bahkan tidak punya rasa atasnya pun tidak menjadi masalah. Hidup memang bagian dari perjalanan. Safe Flight!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suka Duka Naik Kapal Laut

Pernah merasakan travelling naik kapal? Kapal penumpang yang waktu tempuh perjalanannya lebih dari 12 jam. Hmmm bagi sebagian orang, travelling naik kapal bisa jadi hal yang cukup menantang dikarenakan faktor lamanya perjalanan yang dilalui. Lebih dari itu cukup efektif bagi yang ingin menghemat pengeluaran apalagi bila dibandingkan dengan harga tiket pesawat. Selain itu, beberapa destinasi wisata yang tidak terakomodir melalui pesawat bisa dijangkau dengan kapal. Contoh sederhana adalah Pulau Komodo dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Untuk menuju kesana perlu naik pesawat sampai Labuan Bajo, kemudian melanjutkan perjalanan dengan transportasi laut untuk mencapai Pulau Komodo. Biaya yang diperlukan untuk membeli tiket pesawat plus mencharter boat / kapal pinisi menuju Pulau Komodo bisa mencapai 5 juta atau lebih sekali jalan jika start poinnya adalah pulau Sumatera atau pulau Jawa. Nah dipostingan kali ini aku mau share beberapa suka duka naik kapal laut, terutama bagi yang pertama

Pulau Palue dan Gunungapi Rokatenda

Pada bulan Maret 2015 lalu, saya (mau tidak mau, ngeri campur 'exited') berangkat dari desa Aewora kabupaten Ende menuju pulau Palue yang terkenal dengan letusan gunungapi nya yang dasyat di tahun 1928 silam dengan status yang sekarang waspada dan masih aktif.Lebih kurang 2 jam berperahu dari desa Aewora, gunung Rokatenda dengan kawah terbuka menghadap laut terlihat angker. Asap tipis menguar dari gunung itu. Pulau Palue sebenarnya adalah tubuh gunungapi Rokatenda, yang menjulang dari dasar laut Flores dengan ketinggian 3.000 meter dengan 875 meter bila diukur dari permukaan laut. Palue dalam bahasa masyarakat setempat berarti 'mari pulang'.Pulau Palue sendiri secara geografis berada di wilayah kabupaten Ende namun secara history dan administratif masuk ke dalam wilayah pemerintahan kabupaten Sikka. Pulau Palue memiliki luas lebih kurang 39,5 km2 terbagi menjadi 8 desa yaitu; Lidi, Maluriwu, Reruwairere, Kesukoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole dan NitungLea. Dengan has

Perjalanan Ala Ransel "Backpacker"

Bisa mengunjungi berbagai tempat baru, bertemu orang-orang baru, juga pengalaman baru adalah hal yang paling menyenangkan yang bisa didapat dengan perjalanan. Namun kadang perasaan ragu tak jarang meliputi orang yang baru pertama kali akan melakukan perjalanan tersebut dilakukan sendiri tanpa bantuan tour and travel atau agen perjalanan. Perjalanan ada bermacam jenisnya jika dilihat dari cara melakukannya dan juga budget atau dana yang dibutuhkan, dan tentunya setiap jenis perjalanan memiliki kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana kita menyesuaikan dengan keadaan diri kita atau yang paling membuat kita nyaman. Kali ini saya akan mencoba menjelaskan perjalanan ala ransel atau nama bekennya sekarang 'Backpacker'. Backpacker umumnya dipilih oleh mereka yang menginginkan perjalanan dengan biaya minim atau budget terbatas dan menyukai tantangan perjalanan. Kenapa memilih backpacker? Karena backpacker membuat dan memaksa kita melakukan sesuatu yang lebih bahkan dari kemampuan